–Malam Terakhir--
(terinspirasi dari catatan-catatan Uri yang selalu bisa membuatku meneteskan air mata)
Sore itu, aku, Harli dan Ujie berlari sebisa kami menuju GOR. Tempat diadakannya lomba itu. Kami takut ketinggalan pengumuman lomba karena kami baru saja melaksanakan sholat ashar yang sekaligus dhuhur di mushola di wisma haji. Dalam doa ku, aku tak meminta diberi kemenangan, tapi aku meminta agar Allah memberikan yang terbaik untuk kami.
Dan benar saja, sesampainya disana, upacara penutupan sudah dimulai. Dengan nafas yang masih terengah engah, kami masuk ke barisan. Upacara dimulai. Hatiku rasanya sudah sakit karna saking kerasnya jantungku berdebar. Aku merasakan panas yang amat sangat. Tapi ku coba menahan rasa sesak itu. Tibalah saatnya pengumuman. Ada sedikit rasa percaya diri dalam hati kami. Karna banyak yang bilang paling tidak kami akan mendapat juara III.
Tapi setelah juara favorit, juara danton terbaik sampai juara III, nama sekolah kami tak jua disebut. Semakin keras jantungku berdebar. Semakin sesak rasanya, aku ingin menangis, tapi masih ku tahan. Hingga akhirnya sampai juara pertama pun nama sekolah kami tak disebut. Gagal sudah!! Ku lihat semua terdiam, bahkan tertunduk. Raut wajah kecewa tak bisa disembunyikan dari wajah kami. Hanya pi’i yang terlihat tegar. Ku lihat hanya dia yang mampu memberi tepuk tangan. Rasanya semangatku luntur dalam sekejap. Badan ku lemas dan tak bertenaga. Perjuangan kami selama enam bulan lebih berakhir disini. Dan hanya sia sia. Pikirku. Sungguh saat itu aku ingin menangis. Berteriak sekeras mungkin. Aku tahu itu juga yang dirasakan semua teman seperjuanganku. Ku tengok kebelakang dan kulihat Mbak Eko sudah meneteskan air mata. Sejujurnya, aku juga ingin, namun aku ingat kata2 Bang Wahyu. Kata kata yang membuat kami begitu bersemangat dan tegar pada awalnya. “Kita berangkat dengan kepala tegak, pulang pun juga harus begitu, apapun hasilnya.” Kurang lebih seperti itulah petuah yang selalu di katakan oleh beliau. Namun ketegaran itu luluh. Semnagt itu hilang dalam sekejap. Entah mengapa.
Aku masih menahan air mata. Saat Mas Huda dan Mbak Risma menyalamiku, aku masih menahannya, namun ketika tanganku berjabat dengan Mbak Prapti, tiba tiba dia memelukku. Dan langsung menangis, aku tak kuasa lagi menahannya. Aku menangis bersama nya. Masih di samping lapangan. Dia mendekapku. Sambil terisak aku berkata “Mbak maafin kita, kita dah gagal buat bawa piala itu. Kita dah ngecewain kakak kakak semua. Maafin kita” namun sekali lagi Mbak prapti menangis. Masih mendekapku. Dan tak berkata apapun. Sampai akhirnya Mas Charis memisahkan kami. Menyalamiku dan berkata “uwis lah. Napa nangis kie. Ra popo.” Namun aku tak menjawab sedikitpun.
Aku keluar bersama teman teman. Tak bisa dengan badan tegak. Apalagi saat melihat sang juara memegang pialanya. Piala yang jadi tujuan kami. Telah gagal malam ini kami raih. Namun satu yang jadi pikiranku malam itu. Aku telah gagal mengabulkan permintaan seseorang. Aku gagal membuatnya bangga. Semakin sesak jika kufikirkan itu. Dengan wajah yang begitu lelah dan kecewa kami melangkah menuju sekolah. Sudah sangat malam kulihat.
Sesampainya disekolah, kami saling terdiam di koridor. Tak ada yang bicara. Saat d uks, Wahyu tengah menangis dengan tangannya yang merah akibat dibenturkannya ke tembok. Ku lihat Efi dan Mbak Eko berusaha menenangkannya. Aku menuju ke tempat tidur. Aku menangis sambil memegang sebuah topi. Semakin keras dan semakin keras. Sampai akhirnya Efi mendatangiku dan bertanya. Kemudian Pi’i juga datang. Ku ceritakan apa yang ku rasakan. Aku bilang, aku telah gagal membuat seseorang bangga. Bahkan untuk permintaan nya yang terakhirpun tak bisa ku kabulkan. Mereka mengerti siapa yang ku maksud. Mereka coba menenangkanku namun air mataku semakin deras. Mbak Eko lantas memelukku. Dia berkata “uwis put. Kita wis usaha sebisa kita. Semuanya sudah kita lakukan semaksimal kita. Aku yakin dia juga ngerti”. Aku mencoba mengatur nafasku. Hatiku lebih tenang setelah Pi’i memberiku pengertian.
Menjelang pukul 8.00 . Uji mengajak ku pulang. Sebelumnya, ku kembalikan topi yang tadinya ku genggam. Aku ingin menangis lagi dihadapannya. Namun ku coba menahan. Aku hanya mampu berkata, maaf, yang ku lihat hanya senyumnya. Aku pulang hari itu, dengan rasa kecewa. Di dalam bus air mataku masih tak mau berhenti berlinang. Hingga aku tertidur di dalam bus.
Namun, yang paling membuat aku sedih hingga saat ini adalah. Ternyata kebersamaan kami, PASKISAGA SMK Negeri 1 Boyolali, yang telah bersama berlatih dan bekerja sama selama kurang lebih 6 bulan, telah berakhir malam itu. Malam terakhir dalam kebersamaan kami. Dimana selama 6 bulan itu, kami berlatih bersama, melawan hujan ataupun panas. Lelah bersama, makan bersama, hujan hujan bersama, menjadi satu dalam satu pasukan, hingga menangis bersama, tak ada lagi sekarang. Kebersamaan itu seakan tak berarti lagi sekarang. Hilang bersama kekalahan itu. Teriakan teriakan danton itu tak lagi terdengar. Petuah petuah Mas Charis, Mbak Risma, Mas Huda dan senior lain telah berakhir. Berakhir malam itu. 6 bulan itu… bahkan tak meninggalkan bekas. Tak ada album untuk mengenangnya. Tak terlihat jejak perjuangan kami. Seakan pudar dan tak pernah terjadi.
Bagiku, kekalahan itu tak terfikir lagi. Karena aku temukan jawabannya. Untuk teman temanku agar kalian tahu. Kita tak pernah gagal. Satu pesan dari Mas Charis yang selalu ku ingat :
“Aku ga kecewa sama sekali sama kalian. Aku bangga sama kalian. Kalian telah menunjukan bahwa kalian juara buat aku. Aku bisa lihat dari diri kalian kalau kalian dah jadi PASKIBRA paling hebat yang smk kita pernah punya. Tetap semangat dan tetap berjuang!!”
Sebuah pesan untuk kita semua PASKISAGA!!!!!!!! :’)
“Memories of 08 Mei 2011”





0 komentar:
Posting Komentar